Menggunakan DNA purba untuk melacak masa lalu spesies endemik kita
Sebagian besar orang yang bekerja dengan spesimen museum juga belum tahu kalau spesimen-spesimen ini masih dapat berbicara tidak hanya dari catatan pengarsipannya melainkan juga dari DNA yang dikandung spesimen tersebut. Teman-teman yang bekerja dengan DNA, terutama di bagian forensik, mungkin tidak akan terlalu kaget mengetahui kita bisa merunut DNA dari spesimen yang sudah mati setidaknya 10.000 tahun yang lalu.
Proyek penelitian tim kami berupaya menghubungkan orang-orang ini.
Sejak tahun 1980an, peneliti-peneliti di bidang forensik dan biologi molekuler terus berusaha mengembangkan teknik untuk memperoleh DNA dan runutan basanya dari berbagai spesimen tumbuhan dan hewan. Mereka bahkan tidak terpikirkan untuk melakukan ini pada manusia karena sulit menghilangkan kemungkinan kontaminan dari manusia sebagai pelaku ekstraksi, setidaknya hingga perunutan genom pertama Neanderthal yang dipublikasikan tahun 1997.
Sejak saat itu, orang semakin percaya dengan keberadaan DNA purba (ancient DNA atau dalam publikasi ilmiah sering disebut aDNA) di material-material yang disimpan tidak dengan tujuan memperoleh DNA. Material ini termasuk koleksi tulang dan kulit di museum, taksidermi, atau bahkan cawan dan guci bekas penyimpanan makanan manusia zaman dulu.
Tentu saja DNA dalam spesimen-spesimen ini rentan kontaminasi, patah-patah karena degradasi, dan beberapa basa ujungnya bahkan rusak. Namun, berbagai teknologi telah ada untuk mengatasi masalah-masalah ini, mulai dari protokol ekstraksi ketat yang makin efisien seiring berjalannya waktu, hingga algoritma yang makin cerdas untuk memilah kontaminan dan menyusun basa DNA di lokasi yang tepat.
Dengan adanya next generation sequencing, kemampuan kita memperoleh DNA purba di awal abad 21 ini jauh lebih dahsyat dibandingkan ketika bidang ini awal mulai. Tak hanya mampu merunut lebih banyak basa nukleotida dalam waktu singkat, NGS dapat bekerja dengan fragmen DNA sekecil 150 pasang basa sehingga mampu menangkap potongan fragmen DNA yang lebih pendek. Teknologi ini memungkinkan fragmen DNA yang patah-patah tersebut "tertangkap" dengan lebih efisien dibanding metode berbasis PCR yang biasa dipakai sebelumnya.
Apa yang bisa kita ketahui dengan DNA purba?
Jika kita bisa memperoleh DNA purba dari spesimen yang berasal dari individu yang hidup di masa lampau, kita tahu dengan lebih pasti apa yang terjadi dengan suatu spesies atau populasi di masa lampau. Tingkat keragaman genetik dari DNA purba yang dibarengi dengan informasi lainnya tentang lokasi dan waktu dikoleksinya spesies, iklim masa lalu, sejarah peradaban, dan lain sebagainya, dapat memperlihatkan begitu banyak hal: ukuran populasi, perubahan kecenderungan seleksi alam, penyebab kepunahan, penyakit masa lampau, dan masih banyak lagi!
Berikut beberapa contoh informasi yang hanya bisa didapat melalui DNA purba:
Burung endemik Selandia Baru, penguin bermata kuning atau Megadyptes antipodes, ternyata bukan lini penguin asli yang dulu pernah ada. Studi genetik terhadap fosil penguin purba yang ditemukan di habitat mereka adalah milik spesies penguin lain, Megadyptes waitaha, yang dulu ada lebih banyak dan punah sesaat setelah kedatangan manusia pertama. Ketidakaslian penguin bermata kuning menjelaskan mengapa spesies ini rentan terhadap suhu musim panas di Selandia Baru.
Studi terhadap spesimen museum badak sumatra dari tahun 1800an akhir hingga 1900an awal menunjukkan keragaman genetik yang lebih tinggi dibanding populasi badak sumatra yang dicuplik sejak tahun 1980an. Ragam genetik spesimen museum juga menunjukkan bahwa populasi badak sumatra yang dulu pernah ada di berbagai lokasi di Asia Tenggara unik secara geografis dan idealnya dikelola secara terpisah. Karena hal tersebut tidak memungkinkan, diajukanlah rencana untuk mempreservasi plasma nutfah badak sumatra untuk digunakan bersama inseminasi buatan sebagai cara meningkatkan populasi alih-alih translokasi.
Studi genetik terhadap megafauna zaman es yang telah punah semisal mammoth, badak berbulu tebal, passenger pigeon, beruang gua, semuanya menunjukkan tren perubahan keragaman genetik yang berbeda. Dengan kata lain, tiap spesies memiliki penyebab kepunahannya masing-masing yang tidak bisa digeneralisasi.
Dari contoh-contoh tersebut, kita bisa mengetahui bagaimana kondisi anoa dan babirusa di masa lampau. Apakah populasi di Sulawesi Tenggara dan Gorontalo terhubung dan saling kawin di masa lampau? Apakah mereka berbeda sejak awal? Apakah ukuran populasi mereka dahulu lebih tinggi, lebih rendah, atau justru tidak berubah dibandingkan dengan sekarang? Bagaimana dengan tekanan seleksi yang mereka alami selama itu, apakah berubah?
Dalam kaitannya dengan ketahanan biodiversitas, DNA purba dapat memberitahu kita bagaimana spesies-spesies endemik kita bertahan di masa lalu dari kondisi lingkungan saat itu dan membandingkannya dengan tingkat keragaman genetik populasi masa kini. Jika kita tahu apa yang terjadi dulu, apa yang terjadi sekarang, memecahkan hubungan kedua kejadian, kita bisa menggunakan informasi ini untuk memprediksi kondisi masa mendatang.
Dalam beberapa kesempatan, mencuplik DNA dari spesimen museum mungkin justru lebih memungkinkan dibandingkan melakukannya dari alam. Hal ini karena spesies yang ingin kita teliti umumnya sulit ditemui saat ini, hidup di medan yang berbahaya bagi manusia, dan biaya logistik menjadi terlalu mahal untuk melakukan pencuplikan. Jika ternyata individu spesies tersebut sudah dikoleksi sebelumnya, informasi dari spesimen museum dapat membantu memberikan informasi yang diperlukan.
Manusia dikaruniai kemampuan untuk berimajinasi dan memprediksi konsekuensi suatu tindakan. Tanpa kemampuan ini, kita tidak mungkin maju sebagai perdaban. Apakah kita akan maju seterusnya akan sangat tergantung dengan bagaimana kita mau menggunakan kemampuan kita berimajinasi untuk memilih jalan yang paling baik tak hanya untuk manusia melainkan juga untuk seluruh spesies di Bumi.
0 comments